Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang
semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa
warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh
para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis,
bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang
diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana
bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8)
juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya
dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik
sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling
tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu
yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan
mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a)
pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai
salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’
(Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993:
177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai
berikut:
(1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan
konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini,
“pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada fakta bahwa untuk
mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di
luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan
konteks pemakaiannya.
(2) “Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan
pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang
sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)
Pragmatik
juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya
pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau
konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran
(Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik
merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk
struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar,
dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual”
yang dibicarakan.
Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai
telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat
konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah
memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni
penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik.
Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks
mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna
dalam kaitannya dengan situasi ujaran.
Fenomena Pragmatik
Kancah
yang dijelajahi pragmatik ada empat: (a) deiksis, (b) praanggapan
(presupposition), (c) tindak ujaran (speech acts), dan (d) implikatur
percakapan (conversational implicature) (Purwo, 1990: 17).
Deiksis
adalah kata-kata yang memiliki referen yang berubah-ubah atau
berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai
suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa
yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan
dipengaruhi situasi pembicaraan (Cahyono, 1995: 217).
Praanggapan
(presupposition) adalah apa yang diasumsikan oleh penutur sebagai hal
yang benar atau hal yang diketahui pendengar (Cahyono, 1995: 219).
Menurut Nababan (1987: 46), praanggapan adalah dasar atau penyimpulan
dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang
membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi
pendengar/penerima bahasa itu, dan sebaliknya, membantu pembicara
menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat, dsb) yang dapat dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Nababan memberikan
contoh penggunaan presuposisi sebagai berikut:
(1) Wanita Indonesia membeli burung.
terdapat praanggapan bahwa:
(3.1) Ada seorang wanita Indonesia, dan
(3.2) Ada burung.
Jika kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (3) mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca.
Tindak
ujaran (speech acts) ialah pengucapan suatu kalimat di mana si
pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu,
tetapi ia juga menindakkan sesuatu (Purwo, 1990: 19). Searle di dalam
bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (1969:
23-24) dalam Wijana (1996: 17-22), mengemukakan bahwa secara pragmatis
setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh
seorang penutur, yakni:
1. Tindak lokusi, yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Sebagai contoh:
(4) Jari tangan jumlahnya lima.
Kalimat
(4) di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
2. Tindak ilokusi, yaitu sebuah
tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu,
dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh:
(5) Saya tidak dapat datang.
Dari
contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh
seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak
hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan
sesuatu, yakni meminta maaf.
3. Tindak perlokusi, yaitu sebuah
tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya
pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya.
Sebagai contoh:
(6) Kunjungilah restoran Oshin!
Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa.
Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai taulan, dan rekan sekerja Anda. Dijamin halal.
Dalam
wacana di atas, ditemukan penggunaan tindak perlokusi. Ini dapat
diketahui karena penutur -pengelola restoran- selain mengatakan
mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa juga meyakinkan
pendengar/pembaca bahwa masakannya benar-benar halal.
Implikatur
percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup
penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1983: 97). Pertama,
konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang
tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur
memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara
lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan
isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan
beberapa fakta bahasa secara tepat. Sebagai contoh:
(7) A : Jam berapa sekarang?
B : Korannya sudah datang.
Tampaknya
kalimat (7A) dan (7B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun
pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah
cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah
mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan.
Dari keempat bidang
kajian pragmatik tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk memahami
makna sesuai dengan konteks yang terjadi. dalam penelitian ini. Kajian
pragmatik tersebut digunakan untuk memahami makna dan fungsi deiksis
pronomina persona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar